Selasa, 10 Januari 2012

berendam air panas cilengkrang kuningan


LEMBAH Cilengkrang, yang terletak di Desa Pajambon, Kecamatan Karamatmulya, Kabupaten Kuningan, pada musim liburan sekolah tahun ini banyak dikunjungi wisatawan. Sebagian besar mereka (wisatawan) dari Cirebon, Indramayu dan Majalengka.  “Memang umumnya wisatawan regional, tapi tidak sedikit wisatawan dari Bandung, Jakarta dan daerah lainnya seperti dari Jawa Tengah,” kata Ketua Kelompok Penggerak Pariwisata Desa Pajambon, Mulyadi., ada tiga lokasi wisata yang jadi daya tarik Lembah Cilengkrang, diantaranya lokasi Kopi Gede, yakni satu kawasan hutan yang cocok untuk mencari ketenangan, karena panorama alamnya indah.
Lokasi lainnya yakni Curug Sabuk dengan ketinggian kurang lebih 20 meter. Selain Curug Sabuk, ada juga yang disebut Curug Sawer. Curug yang tingginya kurang lebih 75 meter berada di hutan lindung,di tambah lagi ada pemandian air panas di sana kita bira berendam air panas langsung dari sumbernya,di sediakan tiga kolam air panas.
Untuk sampai di Lembah Cilengkrang, bisa menggunakan beberapa rute dan sarana transportasi. Diantaranya dari terminal Cirendang, melalui Desa Ragawacana, bisa juga menggunakan jasa ojeg.
Bagi wisatawan yang datangnya dari arah Cirebon, bisa langsung belok kanan dari pasar Kalapa gunung, menuju arah Desa Pajambon yang jaraknya kurang lebih dua kilometer.
Setelah ada di Desa Pajambon, bisa melanjutkan perjalanan ke lokasi wisata Kopi Gede, selanjutnya ke Curug Sabuk, yang jaraknya 600 meter, melintasi sungai Cilengkrang menuju Curug Sawer.
Untuk memberikan kenyamanan kepada para wisatawan, jalan menuju ke lokasi wisata kini sedang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan. Jika pengerjaannya sudah selesai, akan mengurangi jarak tempuh jalan kaki.
Sebab kendaraan bisa sampai pintu gerbang kawasan hutan Pajambon yang juga merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) itu. salah saeorang wisatawan asal Jakarta, cukup terkesan dengan keindahan panorama Lembah Cilengkrang. Lembah Cilengkrang kata dia, sangat natural yang bisa membangkitkan kesegaran tubuh.
“Kini banyak alam yang sudah ternodai dengan polusi, termasuk pemanasan global (global warning) ternyata Kuningan mempunyai alam yang benar-benar natural tanpa polusi.

ikan dewa cibulan

Ikan Dewa adalah sejenis ikan yang dikeramatkan oleh penduduk di sekitar wilayah Desa Maniskidul dan sekitarnya. Bahkan di sekitar wilayah Kuningan-Jawa Barat, ikan ini dipercaya sebagai ikan istimewa yang membawa berkah bagi siapapun yang dapat menyentuh badannya.
Belakangan ini, legenda tersebut terus tersebar dari mulut ke mulut- hingga masyarakat sekitar Cirebon bahkan dari luar Cirebon, datang ke Kuningan ingin melihat ikan dewa, baik hanya sekedar melihat ataupun mempunyai tujuan yang lain. Banyak legenda tentang asal-muasal ikan ini, seperti dikatakan oleh Pak Mamat, salah satu petugas penyewaan ban yang sudah bertahun-tahun ada di Cibulan," Dahulu kala ketika Prabu Siliwangi masih hidup, beliau memerintah dengan adil dan bijaksana, sehingga hampir semua prajurit dan kawulanya tunduk dan hormat pada Sang Prabu. Namun tak ada gading yang tak retak, begitupun dengan Prabu Siliwangi, walaupun sudah memerintah dengan adil, masih ada saja prajurit yang tidak suka dan tidak puas terhadap Prabu Siliwangi. Singkat cerita, dikutuklah prajurit-prajurit yang membangkang tersebut sehingga menjadi ikan, yang keberadaannya masih bisa kita saksikan sampai sekarang di kolam Cibulan".
Dan anehnya tak ada satu orangpun yang berani mengambil ikan ini, baik hanya sekedar dipelihara, atau bahkan dimasak untuk dimakan. Karena menurut kepercayaan masyarakat sekitar, barang siapapun yang berani menganggu ikan-ikan tersebut, terhadap dirinya akan terjadi sesuatu bencana. Ini cerita yang bisa kita dengar dari masyarakat sekitar, boleh percaya atau tidak. Bahkan menurut cerita yang berkembang, jumlah ikan yang ada di kolam ini dari dulu sampai sekarang tidak pernah bertambah atau berkurang, tetap segitu-gitu saja. Pernah juga tiba-tiba, ikan-ikan Dewa yang berada dalam kolam tersebut hilang entah kemana, kemudian esok harinya kembali seperti semula.
Sadar akan potensi wisata tentang keberadaan ikan Dewa, maka desa setempat membangun tempat ini, sehingga selain para pengunjung bisa melihat ikan Dewa yang terlihat cantik dan seksi, juga para pengunjung bisa berenang bersamanya. Jangan khawatir, ikan Dewa atau ikan Kancra Putih, karena bersisik putih mengkilap, tidak akan menganggu manusia yang ingin berenang bersamanya, malah seakan-akan mereka merasa senang, karena kadang-kadang sambil berenang mereka mengikuti kita.
Pintu masuk
Pintu masuk
Pemandian Cibulan
Pemandian Cibulan
Cantiknya Ikan Dewa
Cantiknya Ikan Dewa
Kolam yang dibangun secara permanen pada tahun 1939 ini cukup luas juga, kurang lebih dengan panjang kurang lebih 70 meter dan lebar kurang lebih 30 meter. Masing-masing mempunyai kedalaman yang berbeda, sesuai dengan kategori, yaitu kolam untuk anak-anak dan kolam untuk dewasa. Air yang sejuk, langsung diperoleh dari lereng Gunung Ciremai, terlihat bening dan menggoda kita untuk berenang bersama ikan Dewa yang berada dalam kolam tersebut. Untuk menjaga kebersihan kolam Cibulan, kolam dikuras sekali dalam dua minggu, atau bisa lebih, jika dirasa air sudah sangat kotor. Begitupun dengan fasilitas yang ada di tempat ini, yaitu ruang bilas mandi, ruang ganti pakaian, penyewaan ban, penyewaan baju, semuanya sudah lengkap, rupanya pengelola memang sudah berniat untuk menggabungkan tempat ini sebagai tempat wisata air dan wisata legenda ikan Dewa. Apalagi dengan biaya masuk yang relatif murah, hanya Rp 2,000 per orang, tentu tidak akan memberatkan para pengunjung yang ingin berkunjung ke sini.
Relatif mudah untuk menjangkau tempat ini, karena terletak di tepi jalan propinsi, antara Kuningan - Cirebon di Desa Maniskidul, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan. Jarak dari Kota Kabupaten Kuningan kurang lebih 7 km ke arah utara, dan terletak pada ketinggian 550 m diatas permukaan air laut. Luas keseluruhan areal ini sekitar 5 ha, dimana selain kolam Cibulan juga terdapat Situs Petilasan Prabu Siliwangi ( Raja Pajajaran ), dalam petilasan tersebut terdapat tujuh sumber mata air, yang masing-masing memiliki khasiat bagi orang-orang yang mempercayainya. Ke tujuh mata air tersebut adalah; mata air kejayaan; mata air Cisadane; mata air kemulyaan; mata air kemudaan; mata air pengabulan; mata air keselamatan dan mata air Cirancana. Pada waktu-waktu tertentu tempat petilasan tersebut banyak diziarahi oleh penduduk setempat ataupun orang-orang dari luar daerah Kuningan dan Cirebon.
Cibulan yang mengandung nilai sejarah, legenda dan tempat wisata dapat dijadikan rangkaian tujuan wisata jika kita berkunjung ke wilayah kuningan. Udara khas pegunungan nan bersih, jauh dari polusi ditambah dengan pemandangan yang indah Gunung Ciremai, selalu menawarkan keindahan wisata Cibulan dan sekitar kuningan.

legenda gunung ciremai dan linggarjati

Legenda Gunung Ciremai dan Lingga(r)jati
(Cirebon)
Asal Mula Gunung Ciremai dan Lingga(r)jati
1.Gunung Cereme
Gunung besar tempat bermusyawarahnya para
wali, kemungkinan nama tersebut hanya kita
maklumi bahwa gunung terbesar dan tertinggi di
Jawa Barat hingga di beri nama Gunung Cereme,
berasal dari kata “Pencereman” yang artinya
“Perundingan” / musyawarah para wali. Oleh
Belanda Gunung Cereme disebut Gunung Ciremai
2.Linggajati
Kata Linggajati adalah sebuah nama yang lahir
karena perjalanan Sunan Gunungjati beserta 8
wali lainnya yang kalau kita Perbmbkan sampai
sekarang nama tersebut masih dalam penelitian
para ahli sejarah dan arkeologi, nama Linggajati
kadang-kadang istilah tersebut juga tidak
dihiraukan, seperti oleh seorang sekitar disebut
Linggajati namun di dalam naskah perundingan
antara pemerintah Indonesia dengan Belanda
tencantum Perundingan Liaggarjati.
Beberapa pendapat dan arti tentang Desa
Linggajati, antara lain :
* Pendapat Sunana Kalijaga : disebut LINGGAJATI
dengan alasan sebagai tempat linggih (Iingga)
Gusti Sunan Gunungjati
* Pendapat Sunan Bonang : Diberi nama
Linggarjati mempunyai alasan bahwa sebelum
Sunan Gunungjati sampai ke puncak G. Gede
beliau Linggar (berangkat) meninggalkan tempat
setelah beristirahat dan¬bermusyawarah tanpa
mengendarai kendaraan menggunakan ilmu
sejati.
* Pendapat Syeh Maulana Magribi : Desa itu diberi
nama LINGGARJATI, mempunyai arti tempat
penyiaran ilmu sejati.
* Pendapat Sunan Kudus : Disebut LINGAJATI
“nalingakeun ilmu sejata” karena justru di tempat
itulah mereka bermusyawarah dan menjaga
rahasia ilmu sejati jangan sampai diketahui orang
banyak.
************
Legenda Gunung Ciremai
Banyak yang mengklaim kalau jalur pendakian
gunung Ciremai melalui pos Linggar Jati adalah
jalur Walisongo.
Secara singkatnya, konon Walisongo melakukan
perjalanan mendaki gunung Ciremai dan di pandu
oleh kakeknya Sunan Gunung Jati. Pendakian di
mulai dari desa Linggar Jati, dan Pos Ciebunar
adalah tempat pertama rombongan Walisongo
berkemah.
Medan pendakian lewat jalur ini memang terkenal
paling sulit di banding dengan jalur-jalur lain
seperti Palutungan maupun Majalengka. Sampai –
sampai kakek Sunan Gunung Jati kelelahan
(mungkin karena pengaruh usia) pas di
pertengahan gunung.
Kakek Sunan gunung Jati akhirnya memutuskan
untuk tidak meneruskan pendakiannya,dan
memilih beristirahat, dan mempersilahkan
rombongan Walisongo untuk meneruskan
pendakian dengan di temani oleh empat orang
pengawal sang kakek.
Kakek Sunan Gunung Jati memilih istirahat
sembari duduk bersila di atas batu besar. Batu
inilah yang sekarang di kenal dengan sebutan
Batu Lingga. Karena saking lamanya duduk untuk
berkhalwat, sampai-sampai batu tempat duduk
ini meninggalkan bekas dan berbentuk daun waru
atau jantung.
Kakek Sunan Gunung Jati sampai lama di tengah
gunung Ciremai karena sampai Walisongo sudah
turun, Sang Kakek tidak mau ikut turun di
karenakan malu. Karenanya ada yang
menyebutnya sebagai Satria Kawirangan.
Di bagian atas dari Pos Batu Lingga ada pos
Sangga Buana, kalau di perhatikan pohon-
pohonnya ada yang unik. Yakni pucuknya meliuk
ke arah bawah semua.
Konon, para pengawalnya Sang Kakek yang
mestinya menemani Walisango ternyata juga
tidak kuat meneruskan pendakian. Akhirnya
mereka sepakat untuk mengikuti jejak Sang
Kakek. Dan sebagai penghormatan kepada Sang
Kakek, mereka membungkukkan badannya
kebawah ke arah sang Kakek beristirahat. Para
pengawal ini konon berubah menjadi pepohonan
yang pucuk-pucuknya meliuk ke bawah.
Sampailah rombongan Walisongo di bawah
puncak 1 ciremai bertepatan dengan waktu sholat
ashar tiba. Walisongo pun menunaikan sholat
jamaah ashar di bawah puncak satu. Usai sholat
ashar rombongan Walisongo memutuskan untuk
istirahat dan makan bersama.
Namun ketika akan mulai memasak, ternyata
semua persediaan laukpauk dan bumbu-
bumbunya sudah habis. Cuma ada garam dapur
saja yang tersisa. Seadanya yang penting ada
yang di makan, walaupun cuma nasi putih
campur garam tetap enak dan bisa untuk
menambah tenaga baru. Karena hal inilah puncak
II Ciremai di namakan sebagai Puncak
Pengasinan. Karena cuma makan nasi dengan
garam yang asin rasanya.
Perjalanan Walisongo pun di lanjutkan sampai ke
puncak 1. Dan untuk menghormati Kakek dari
Sunan Gunung Jati, Walisaongo berdoa minta
petunjuk kepada Allah bagaimana cara
penghormatan untuk orang sudah bersusah
payah ikut memandu pendakian ini.
Dengan Izin dan Kuasa Allah SWT, puncak
tempat Walisongo berdiri amblas ke dalam
sampai kedalaman yang sejajar dengan tempat
Kakek Sunan Gunung Jati beristirahat di Batu
Lingga.
Karenanya kawah Ciremai memang exotis namun
menyeramkan jika di banding dengan dengan
kawah-kawah gunung lainnya.
Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui semua
kebenaran cerita ini.
Kisah ini pernah diceritakan oleh Mbah Saman,
pemilik warung makan dan penginapan di jalur
pendakian Linggar Jati. Tepatnya kurang lebih 100
meter setelah Pos pendaftaran.
Satu pesan dari Mbah Saman yang harus diingat
1. Kalau mau mendaki gunung dengan selamat,
jangan melakukan pendakian dari belakang
gunung.
2. Lakukanlah pendakian dari depan sebagai mana
sopan santun kita terhadap orang tua.
3. Bagian depan gunung ialah apabila dilihat
gunung itu berbentuk kerucut atau segi tiga.

asal usul kuningan

Pertama kali diketahui Kerajaan Kuningan diperintah oleh seorang raja bernama Sang Pandawa atau Sang Wiragati. Raja ini memerintah sejaman dengan masa pemerintahan Sang Wretikandayun di Galuh (612-702 M). Sang Pandawa mempunyai putera wanita bernama Sangkari. Tahun 617 Sangkari menikah dengan Demunawan, putra Danghyang Guru Sempakwaja, seorang resiguru di Galunggung. Sangiyang Sempakwaja adalah putera tertua Wretikandayun, raja pertama Galuh. Demunawan inilah yang disebutkan dalam tradisi lisan masyarakat Kuningan memiliki ajian dangiang kuning dan menganut agama sanghiyang.

Meskipun Kuningan merupakan kerajaan kecil, namun kedudukannya cukup kuat dan kekuatan militernya cukup tangguh. Hal itu terbukti dengan kekalahan yang diderita pasukan Sanjaya (Raja Galuh) ketika menyerang Kuningan. Kedatangan Sanjaya beserta pasukannya atas permintaan Dangiyang Guru Sempakwaja, besan Sang Pandawa dengan maksud untuk memberi pelajaran terhadap Sanjaya yang bersikap pongah dan merasa diri paling kuat. Sanjaya adalah cicit Sang Wretikandayun, melalui putranya Sang Mandiminyak yang menggantikannya sebagai Raja Galuh (703-710) dan cucunya Sang Sena yang menjadi raja berikutnya (710-717).

Di Kerajaan Galuh terjadi konflik kepentingan, sehingga Resi Guru Sempakwaja mengambil keputusan. Diantaranya menempatkan Sang Pandawa menjadi guru haji (resiguru) di layuwatang (sekarang tempatnya di Desa Rajadanu Kecamatan Japara). Sedangkan kedudukan kerajaan digantikan Demunawan dengan gelar Sanghiyangrang Kuku, tahun 723.

Masa pemerintahan Rahyangtang Kuku, diberitakan bahwa ibu kota Kerajaan Kuningan ialah Saunggalah. Lokasinya diperkirakan berada di sekitar Kampung Salia, sekarang termasuk Desa Ciherang Kecamatan Nusaherang. Seluruh wilayahnya meliputi 13 wilayah diantaranya Galunggung, Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasesa, Kahirupan, Sumanjajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pegergunung, Muladarma dan Batutihang.

Tahun 1163-1175, Kerajaan Saunggalah terungkap lagi setelah tidak ada catatan paska Demunawan. Saat itu tahta kerajaan dipegang oleh Rakean Dharmasiksa, anak dari Prabu Dharmakusumah (1157-1175) seorang raja Sunda yang berkedudukan di Kawali. Rakean Dharmasiksa memerintah Saunggalah menggantikan mertuanya, karena ia menikah dengan putri Saunggalah.

Namun Rakean Dharmasiksa tidak lama kemudian menggantikan ayahnya yang wafat tahun 1175 sebagai Raja Sunda. Sedangkan kerajaan Saunggalah digantikan puteranya yang bernama Ragasuci atau Rajaputra. Sebagai penguasa Saunggalah, Ragasuci dijuluki Rahyantang Saunggalah (1175-1298). Ia memperistri Dara Puspa, putri seorang raja Melayu.

Tahun 1298, Ragasuci diangkat menjadi Raja Sunda menggantikan ayahnya dengan gelar Prabu Ragasuci (1298-1304). Kedudukannya di Saunggalah digantikan puteranya bernama Citraganda. Pada masa kekuasaan Ragasuci, wilayah kekuasaannya bertambah meliputi Cipanglebakan, Geger Gadung, Geger Handiwung, dan Pasir Taritih di Muara Cipager Jampang.

Masa Keadipatian

Berdasarkan tradisi lisan, sekitar abad 15 Masehi di daerah Kuningan sekarang dikenal dua lokasi yang mempunyai kegiatan pemerintahan yaitu Luragung dan Kajene. Pusat pemerintahan Kajene terletak sekarang di Desa Sidapurna Kecamatan Kuningan. saat itu, Luragung dan Kajene bukan lagi sebuah kerajaan tapi merupakan buyut haden. Masa ini, dimulai dengan tampilnya tokoh Arya Kamuning, Ki Gedeng Luragung dan kemudian Sang Adipati Kuningan sebagai pemipun daerah Kajene, Luraugng dan kemudian Kuningan.

Mereka secara bertahap di bawah kekuasaan Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Djati (salah satu dari sembilan wali, juga penguasa Cirebon). Tokoh Adipati Kuningan ada beberapa versi. Versi pertama Sang Adipati Kuningan itu adalah putera Ki Gedeng Luragung (unsur lama). Tetapi kemudian dipungut anak oleh Sunan Gunung Djati (unsur baru).

Dia dititipkan oleh aya angkatnya kepada Arya Kamuning untuk dibesarkan dan dididik. Kemudian menggantikan kedudukan yang mendidiknya. Versi kedua, Sang Adipati Kuningan adalah putera Ratu Selawati, keturunan Prabu Siliwangi (unsur lama), dari pernikahannya dengan Syekh Maulanan Arifin (unsur baru). Disini jelas terjadi kearifan sejarah.

Berdasarkan Buku Pangaeran Wangsakerta yang ditulis abad ke 17, Sang Adipati Kuningan yang berkelanjutan penjelasanya adalah berita yang menyebutkan tokoh ini dikaitkan dengan Ratu Selawati. Bahwa agama Islam menyebar ke Kuningan berkat upaya Syek Maulana Akbar atau Syek Bayanullah. Dia adalah adik Syekh Datuk Kahpi yang bermukim dan membuka pesantren di kaki bukit Amparan Jati (sekarang Cirebon).

Syekh Maulana Akbar membukan pesantren pertama di Kuningan yaitu di Desa Sidapurna sekarang, ibu kota Kajene. Ia menikah dengan Nyi Wandansari, putri Surayana. Ada pun Surayana adalah putra Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kancana, Raja Sunda yang berkedudukan di Kawali (1475-1482) yang menggantikan kedudukan ayahnya Prabu Niskala Wastu Kancana atau lebih dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi.

Dari pernikahan dengan Nyi Wandansari berputra Maulana Arifin yang kemudian menikah dengan Ratu Selawati. Ratu Selawati bersama kakak dan adiknya yaitu Bratawijaya dan Jayakarsa adalah cucu Prabu Maharaja Niskala Wastu Kancana atau Prabu Siliwangi. Bratawijaya kemudian memimpin di Kajene dengan gelar Arya Kamuning. Sedangkan Jayaraksa memimpin masyarakat Luragung dengan gelar Ki Gedeng Luragung.

Mereka bertiga, yakni Ratu Selawati, Arya Kamuning (Bratawijaya), Ki Gedeng Luragung (Jayaraksa) diIslamkan oleh uwaknya yakni Pangeran Walangsungsang. Adapun Sang Adipati Kuningan yang sesungguhnya bernama Suranggajaya adalah anak dari Ki Gedeung Luragung (namun hal itu masih merupakan babad peteng atau masa kegelapan yang sampai saat ini tidak diketahui kebenarannya sesungguhnya anak siapa Sang Adipati Kuningan).

Atas prakarsa Sunan Gunung Djati dan istrinya yang berdarah Cina Ong Tin Nio yang sedang berkunjung ke Luragung, Suranggajaya diangkat anak oleh mereka. Tetapi pemeliharaan dan pendidikannya dititipkan pada Arya Kamuning. Sedangkan Arya Kamuning sendiri dikabarkan tidak memiliki keturunan. Akhirnya Suranggajaya diangkat jadi adipati oleh Susuhunan Djati (Sunan Gunung Djati) menggantikan bapak asuhnya.

Penobatan ini dilakukan pada tanggal 4 Syura (Muharam) Tahun 1498 Masehi. Penanggalan tesebut bertempatan dengan tanggal 1 September 1498 Masehi. Sejak tahun 1978, hari pelantikan Suranggajaya menjadi Adipati Kuningan itu ditetapkan sebagai Hari Jadi Kuningan sampai sekarang.***

asal usul kuningan

Ada beberapa kemungkinan tentang asal-usulnya Kuningan dijadikan nama daerah ini. Salah satu kemungkinan adalah bahwa istilah tersebut berasal dari nama sejenis logam, yaitu kuningan. Dalam bahasa Sunda (juga bahasa Indonesia), kuningan adalah sejenis logam yang terbuat dari bahan campuran berupa timah, perak dan perunggu. Jika disepuh (dibersihkan dan diberi warna indah) logam kuningan itu akan berwarna kuning mengkilap seperti emas sehingga benda dibuat dari bahan ini akan tampak bagus dan indah. Memang logam kuningan bisa dijadikan bahan untuk membuat aneka barang keperluan hidup manusia seperti patung, bokor, kerangka lampu maupun hiasan dinding.
Di Sangkanherang, dekat Jalaksana sebelum tahun 1914 ditemukan beberapa patung kecil terbuat dari kuningan. Paling tidak sampai tahun 1950-an barang-barang yang terbuat dari bahan logam kuningan itu sangat disukai oleh masyarakat elit (menak) di daerah Kuningan. Barang-barang yang dimaksud berbentuk alat perkakas rumah tangga dan barang hiasan di dalam rumah. Benda-benda dari bahan kuningan itu juga disukai pula oleh sejumlah masyarakat Sunda, Jawa, Melayu, dan beberapa kelompok masyarakat di Nusantara umumnya.
Di daerah Ciamis dan Kuningan sendiri terdapat cerita legenda yang bertalian dengan bokor (tempat menyimpan sesuatu di dalam rumah dan sekaligus sebagai barang perhiasan) yang terbuat dari logam kuningan[. Kedua cerita legenda dimaksud menuturkan tentang sebuah bokor kuningan yang dijadikan alat untuk menguji tingkat keilmuan seorang tokoh agama.
Di Ciamis - dalam cerita Ciung Wanara - bokor itu digunakan untuk menguji seorang pendeta Galuh (masa pra-Islam) bernama Ajar Sukaresi yang bertapa di Gunung Padang. Pendeta ini diminta oleh Raja Galuh yang ibukota kerajaannya berkedudukan di Bojong Galuh (desa Karangkamulya) sekarang yang terletak sekitar 12 km sebelah timur kota Ciamis, untuk menaksir perut istrinya yang buncit, apakah sedang hamil atau tidak. Kesalahan menaksir akan berakibat pendeta itu kehilangan nyawanya. Sesungguhnya buncitnya perut putri tersebut merupakan akal-akalan Sang Raja, dengan memasangkanbokor kuningan pada perut sang putri yang kemudian ditutupi dengan kain sehingga tampak seperti sedang hamil. Perbuatan tersebut dilakukan semata-mata untuk mengelabui dan mencelakakan Sang Pendeta saja.
Pendeta Ajar Sukaresi yang sudah mengetahui akal busuk Sang Raja tetap tenang dalam menebak teka-teki yang diberikan oleh Sang Raja, Sang Pendeta pun berkata bahwa memang perut Sang Putri tersebut sedang hamil. Sang Raja pun merasa gembira mendengar jawaban dari Pendeta tersebut,karena beliau berpikir akal busuknya untuk mengelabui Sang Pendeta berhasil. Sang Raja dengan besar kepala berkatabahwa tebakan Sang Pendeta salah, dan kemudian memerintahkan kepada prajuritnya agar pendeta tersebut dibawa ke penjara dan segera Sang Raja mengeluarkan perintah agar pendeta tersebut di hukum mati.
Teryata tak berapa lama kemudian diketahui bahwa Sang Puteri tersebut benar-benar hamil. Muka Raja tersebut merah padam,hal ini tak mungkin terjadi pikirnya. Dengan gelap mata Sang Raja tersebut marah dan menendang bokor kuningan, kuali dan penjara besi yang berada di dekatnya. Bokor, kuali dan penjara besi itu jatuh di tempat yang berbeda. Daerah tempat jatuhnya bokor kuningan, kemudian diberi nama Kuningan yang terus berlaku sampai sekarang. Daerah tempat jatuhnya kuali (bahasa Sunda: kawali) dinamai Kawali (sekarang kota kecamatan yang termasuk ke dalam daerah Kabupaten Ciamis dan terletak antara Kuningan dan Ciamis, sekitar 65 km sebelah selatan kota Kuningan), dan daerah tempat jatuhnya penjara besi dinamai Kandangwesi (kandangwesi merupakan kosakata bahasa Sunda yang artinya penjara besi) terletak di daerah Garut Selatan.
Dalam Babad Cirebon dan tradisi Lisan Legenda Kuningan bokor kuningan itu digunakan untuk menguji tokoh ulama Islam (wali) bernama Sunan Gunung Jati. Jalan ceritanya kurang lebih sama dengan cerita Ciung Wanara, hanya di dalamnya terdapat beberapa hal yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud terletak pada waktu dan tempat terjadinya peristiwa, tujuan dan akibat pengujian itu, dan tidak ada peristiwa penendangan bokor. Jika cerita Ciung Wanara menuturkan gambaran zaman kerajaan Galuh yang sepenuhnya bersifat kehinduan atau masa pra-Islam, maka Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan mengisahkan tuturan pada zaman peralihan dari masa Hindu menuju masa Islam atau pada masa proses Islamisasi. Dengan demikian, isi cerita Ciung Wanara lebih tua daripada isi Babad Cirebon atau tradisi lisan Legenda Kuningan. Cerita Ciung Wanara mengungkapakan tempat peristiwanya di Bojong Galuh, sedangkan Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan mengemukakan bahwa peristiwanya terjadi di Luragung (kota kecamatan yang terletak 19 km sebelah timur Kuningan).
Tidak seperti dalam cerita Ciung Wanara, penaksiran kehamilan Puteri dilatarbelakangi oleh tujuan mencelakakan pendeta Ajar Sukaresi dan berakibat pendeta tersebut dihukum mati, dalam Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan penaksiran kehamilan tersebut dimaksudkan untuk menguji keluhuran ilmu Sunan Gunung Jati semata-mata dan berdampak mempertinggi kedudukan keulamaan wali tersebut. Anak yang dilahirkannya adalah seorang bayi laki-laki yang kemudian dipelihara dan dibesarkan oleh Ki Gedeng Luragung, penguasa daerah Luragung. Selajutnya Sunan Gunung Jati menjadi Sultan di Cirebon. Setelah dewasa bayi itu diangkat oleh Sunan Gunung Jati menjadi pemimpin atau kepala daerah Kuningan dengan nama Sang Adipati Kuningan.
Jadi, dari nama jenis logam bahan pembuatan bokor itulah daerah ini dinamakan daerah Kuningan. Itulah sebabnya, bokor kuningan dijadikan sebagai salah satu lambang daerah Kabupaten Kuningan. Lambang lain daerah ini adalah kuda yang berasal dari kuda samberani milik Dipati Ewangga, seorang Panglima perang Kuningan.
Menurut tradisi lisan Lagenda Kuningan yang lain, sebelum bernama Kuningan nama daerah ini adalah Kajene. Kajene katanya mengandung arti warna kuning (jene dalam bahasa Jawa berarti kuning). Secara umum warna kuning melambangkan keagungan dalam masyarakat Nusantara. Berdasarkan bahan bokor kuningan dan warna kuning itulah, kemudian pada masa awal Islamisasi daerah ini dinami Kuningan. Namun keotentikan Kajene sebaga nama pertama daerah ini patut diragukan, karena menurut naskah Carita Parahyangan sumber tertulis yang disusun di daerah Ciamis pada akhir abad ke-16 Masehi, Kuningan sebagai nama daerah (kerajaan) telah dikenal sejak awal kerajaan Galuh, yakni sejak akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi. Sementara itu, wilayah kerajaan Kuningan terletak di daerah Kabupaten Kuningan sekarang.
Adalagi menurut cerita mitologi daerah setempat yang mengemukakan bahwa nama daerah Kuningan itu diambil dari ungkapan dangiang kuning, yaitu nama ilmu kegaiban(ajian) yang bertalian dengan kebenaran hakiki. Ilmu ini dimiliki oleh Demunawan, salah seorang yang pernah menjadi penguasa (raja) di daerah ini pada masa awal kerajaan Galuh.
Dalam tradisi agama Hindu terdapat sistem kalender yang enggambarkan siklus waktu upacara keagamaan seperti yang masih dipakai oleh umat Hindu-Bali sekarang. Kuningan menjadi nama waktu (wuku) ke 12 dari sistem kalender tersebut. Pada periode wuku Kuningan selalu daiadakan upacara keagamaan sebagai hari raya. Mungkinkah, nama wuku Kuningan mengilhami atau mendorong pemberian nama bagi daerah ini?
Yang jelas, menurut Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan, dua naskah yang ditulis sezaman pada daun lontar beraksara dan berbahasa Sunda Kuna, pada abad ke-8 Masehi, Kuningan sudah disebut sebagai nama kerajaan yang terletak tidak jauh dari kerajaan Galuh (Ciamis sekarang) dan kerajaan Galunggung (Tasikmalaya sekarang). Lokasi kerajaan tersebut terletak di daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Kuningan.